Monday 13 April 2009

Takdir, Hidayah dan Kehendak Bebas

Antara Takdir, Hidayah, Kehendak Bebas, serta Cerita Musa dan Khidir

Sebelumnya, tolong diperhatikan! Tulisanku ini, sumpah, kubuat nggak sambil nyontek kitab apapun yang ada tulisan Arabnya. Jadi otomatis, kalau berharap bakal menemukan dalil-dalil atau teks dengan tulisan Arab di tulisanku ini, waduh, anda salah sambung, mas, mbak. Sekali lagi, aku sudah memperingatkan bahwasannya tulisanku ini kubuat benar-benar menggunakan akalku yang sudah diberikan Tuhanku kepadaku, sekaligus pengen menegaskan kalo menurutku posisi akal bukanlah di bawah sekumpulan teks dengan tulisan-tulisan Arab itu, hohoho…

Posisi akal, lagi-lagi menurutku, haruslah beriringan dengan dalil, karena dengan akallah maka kita bisa menafsirkan maksud sebuah dalil. Dalil tidak harus ditafsirkan dengan “menurut kata ulama ini” atau “menurut kata kyai itu”, atau malah ditafsirkan dengan didasarkan pada kepasrahan buta pada arti tekstual tulisan Arab tersebut (padahal kupikir, tata-bahasa Arab pun pasti juga mengenal majas-majas). Semua ini tentunya karena ulama-ulama atau kyai-kyai itu bisa saja salah atau malah memang berniat mempelintir sebuah dalil untuk kepentingan diri atau golongannya sendiri. Waspadalah, karena kita tidak akan pernah bisa benar-benar tahu isi hati orang lain. Dunia ini penuh dengan muslihat, saudaraku.

Bayangkan dong, betapa kecewanya Yang Memberi kita akal kalau ternyata kita malah tidak memanfaatkan akal kita dalam menerjemahkan permintaan-Nya. Nah, apakah Anda kecewa bahwa tulisan ini tidak ada teks Arabnya dan berniat tidak meneruskan membaca? Monggo, nggak pa-pa, kok. Dan apakah Anda bakal nekat meneruskan membaca tulisan ini? Terima kasih. Tapi sudah kuingatkan, lho, kalau di tulisanku bakal tidak ada sedikitpun tulisan dengan teks Arab.

Oke, balik pada judul!

Jadi ceritanya begini, sobat. Kadangkala (atau bahkan sering) aku agak “terganggu” dengan kalimat-kalimat seputaran takdir, ketentuan-ketentuan Tuhan, dan hidayah. Sangat sering aku mendengar kalimat-kalimat, seperti:

“Bunuh diri itu dosa, karena bunuh diri itu merusak takdir Tuhan.”

Atau, “Yah, kita tidak bisa memaksa. Hidayah itu, kan, sepenuhnya terserah Tuhan.”

Atau lagi, “Hidup manusia itu sudah digariskan oleh Tuhan bagaimana jalannya. Nggak usah terlalu ngoyo.”

Nah, seperti itu. Tapi sebentar dulu, sahabat-sahabatku yang setia. Jujur, aku nggak sreg dengan pernyataan-pernyataan seperti itu. Pada kalimat pertama, jelas sekali kalau berarti ternyata sebuah ketentuan Tuhan bisa dirusak oleh makhluknya dengan mudahnya. Aku nggak setuju. Di mana kita letakkan sifat ke-maha-an Tuhan kalau ternyata makhluknya sendiri bisa dengan mudah merusak skenarionya?

Kalimat kedua aku lebih nggak setuju. Hidayah memang milik Tuhan, tapi bukan berarti kita bisa sewenang-wenang setuju kalau kita hanya bisa pasrah terhadap keadaan yang seperti itu.

Dalam konteks aku sebagai seorang muslim, aku berpendapat sangatlah tidak adil jika kita berpendapat hidayah itu hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Tuhan. Itu artinya sama saja berarti bahwa akhir hidup kita ini sudah ditentukan bagaimana hasilnya oleh Tuhan. Sama saja berarti Tuhan sudah menentukan siapa saja yang bakal masuk neraka dan siapa saja yang bakal masuk surga.

Kalau sudah seperti itu, lalu apa gunanya kita beribadah siang-malam-pagi-sore-subuh-dzuhur-ashar-maghrib-isya’ kalau ternyata kita sudah digariskan sebagai penghuni neraka? Silakan saja kita meniduri semua lawan jenis yang membuat syahwat kita bergejolak kalau kita sudah ditakdirkan sebagai penghuni surga. Jadi, di mana kita taruh sifat ke-maha-adil-an Tuhan kalau kita berpendapat akhir hidup kita sudah ditentukan hasil akhirnya?

Kalimat yang ketiga… Halah, kelamaan kalau aku membahas arti kalimat-per-kalimat satu demi satu. Enaknya aku langsung membahas saja perihal takdir ini menurut otakku. Dan sepertinya, maksud ketidak-setujuanku terhadap kalimat ketiga bakal bisa terjelaskan sembari membaca tulisan ngawurku ini.

Pertama-tama, aku masih yakin dengan pendapatku bahwa Tuhan sudah memberi sebuah anugerah kepada manusia berupa sebuah hak prerogatif untuk memilih dan menentukan hidupnya di dunia ini. Ini sebuah karunia yang luar biasa! Aku berpendapat Tuhan seolah-olah berkata kepada kita, “Play your own games!” Kita seolah-olah boleh berpendapat, “Akulah tokoh utama dalam kehidupan ini.”

Lalu, aku berpendapat bahwa sebenarnya ada banyak – dan bahkan mungkin kita tidak sanggup menghitung – skenario alternatif dalam hidup kita yang disiapkan oleh Tuhan. Dari sekian banyak skenario altrnatif itu, di ujung skenario itu menantilah sebuah konsekuensi bagi kita yang berlaku mutlak sesuai jalan cerita yang kita pilih. Itulah menurutku yang dinamakan sebagai “takdir”!

Intinya: Akulah yang menentukan jalan cerita hidupku sendiri, menuju sebuah konsekuensi akhir yang ditetapkan Tuhan atas pilihanku.

Masih bingung? Nggak pa-pa. Itu wajar. Setiap orang toh punya tingkat intelegensia yang berbeda-beda. Ada yang sudah bisa menangkap maksud tulisanku, ada juga yang berpikir, “Si Joe kie edan! Kie jan-jane bocahe meh nulis opo tho? Conthongan kok ora nggenah!”

Tenang saja, saudaraku. Walaupun belum bisa menangkap maksudku, tapi bukan berarti aku beranggapan bahwa tingkat intelegensia kalian berada di bawahku. Setiap orang punya kecepatan pemahaman yang berbeda-beda terhadap suatu hal yang berbeda. Misalnya saja, dalam disiplin ilmuku, aku tidak mempunyai daya serap dalam mempelajari hal baru secepat Pramur atau Agro atau Bram atau Hanan atau Tantos. Tapi aku yakin, dalam perkara menaklukkan hati wanita, aku lebih dahsyat dibandingkan mereka, kakakakaka!

Maka, untuk mengatasi kebingungan bagi yang bingung, tolong perhatikan gambar-tidak-saru di bawah ini:

Nah, zona pertama dari gambarku itu aku namakan sebagai “the way”. Isinya adalah pilihan-pilihan dari sekian banyak skenario alternatif yang diberikan Tuhan. Kita hanya bisa bergerak ke kanan terus - setelah menentukan pilihan atas percabangan garis atawa jalan mana yang mau kita tempuh – tanpa bisa mengulang kembali, sampai pada akhirnya kita mencapai sebuah “hasil” di zona kedua yang ditentukan mutlak oleh Tuhan. Tapi mohon diingat, kalau kita tidak akan pernah tahu hasil apa yang ditetapkan Tuhan untuk kita. Kita hanya bisa memprediksi dan meraba. Dan tentunya flowchart milik Tuhan tidaklah sesederhana gambarku.

Zona pertama adalah hak prerogatif kita untuk menentukan, sedangkan zona kedua adalah mutlak keputusan Tuhan.

Dalam memilih suatu skenario, pastilah kita dihadapkan lagi pada cabang-cabang. Dan pada setiap cabang yang sudah kita tentukan, kita bakal dihadapkan pada cabang-cabang lagi, dan cabang lagi, dan cabang lagi. Karena itu, nggak ada yang salah dengan pendapat “hidup itu penuh dengan pilihan.”

Untuk studi kasus, kita misalkan saja ada seorang pemuda tampan bernama Anindito. Anindito suatu saat dihadapkan pada pilihan, mau kuliah di UGM menuruti hawa nafsunya menantang dunia komputer, atau tetap di UNS saja menggeluti bidang yang selama ini memang menjadi hobinya? Jika pilih UGM, maka di ujung jalan sana menanti sebuah takdir yang sebelumnya tidak pernah diketahui oleh Anindito bahwa dia akan jatuh melarat gara-gara tidak sanggup membayar SPP. Jika memilih UNS, dia bakal sukses karena hobinya memang di situ. Anindito memilih UGM itu adalah pilihannya sendiri, bukan Tuhan yang menentukan. Tapi perkara dia akhirnya jatuh melarat itu adalah takdir Tuhan. Itu adalah sebuah konsekuensi mutlak dari Tuhan atas pilihan yang ditetapkan oleh sang pemuda tampan itu. UGM itu the way-nya, melarat itu hasilnya.

Sampai di sini aku yakin kita semua sudah mengerti maksud tulisanku.

Kembali pada pertanyaan-pertanyaan di atas tadi. Sesuai dengan rumusan ngawur yang baru saja aku temukan (sebenarnya bukan baru saja. Tapi sejak kemarin ketika aku bersemadi sore-sore di kamar mandi), pertanyaan pertama tentang bunuh diri bisa kita jabarkan sebagai berikut:

Mati adalah sebuah “hasil” dan bunuh diri sebuah “the way”. Bunuh diri bukanlah sebuah perbuatan merusak takdir, karena yang disebut sebagai takdir adalah kematian yang memang sudah ditentukan oleh Tuhan atas pilihan seseorang untuk bunuh diri. Dan dalam konteks Islam, bunuh diri juga mengakibatkan konsekuensi tambahan yang berupa sebuah dosa.

“Tapi ada juga orang yang mencoba bunuh diri tapi nggak mati. Itu kan artinya Tuhan mentakdirkan dia belum mati, padahal dia sudah memilih jalan yang seharusnya mengakibatkan kematian, yang tadi dibilang berlaku mutlak. Artinya, ini tidak sesuai dengan rumusan yang tadi diberikan, bahwa setiap jalan yang ditempuh akan menghasilkan sebuah konsekuensi yang berlaku mutlak. Artinya lagi, Tuhan ternyata memang mengatur pilihan manusia sesuai dengan skenarionya. Coba Mas Joe yang tampan sekali ini menjelaskan tentang hal ini?!”

Oke, jadi begini: Seperti yang sudah kutulis tadi, dalam setiap jalan kita akan dihadapkan pada percabangan jalan lain yang harus kita pilih, dan begitu terus menerus sampai takdir kita terungkap.

Dalam kasus “bunuh diri tapi nggak mati” itu, kita asumsikan saja kalau si pelaku setelah memilih jalan bunuh diri dihadapkan lagi pada pilihan mau gantung diri ataukah mau minum bagyo, aeh, baygon. Setelah akhirnya dia memutuskan minum baygon, dia dihadapkan lagi pada percabangan pilihan antara yang dosis oplosannya murni atau campuran. Dan akhirnya dia memilih untuk meminum yang oplosannya campuran (dari sinipun bisa banyak lagi kemungkinan pilihan. Apakah dicampur kopi, campur sirup, campur teh, atau dicampur vodka sekalian). Setelah memilih oplosan campuran, dia masih dihadapkan lagi pada pilihan dengan kadar campuran 10%, 30%, 60%, ataukah 90%. Nah, karena ternyata dia memilih yang kadarnya 10%, maka konsekuensinya dia tidak mati. Seandainya dia memilih dosis murni sejak awal, maka bisa saja dia mati seketika.

Memang, dalam “the way” itu percabangan pilihannya rumit sekali. Penuh dengan “kalau” dan “seandainya”. Makanya kubilang, flowchart milik Tuhan tidaklah sesederhana yang kugambarkan. Tapi yang pasti, konsekuensi akhir itu merupakan mutlak kehendak Tuhan. Kita hanya berhak memilih suatu jalan sampai pada akhirnya konsekuensi pilihan kita terungkap.

Ini sama halnya dengan masalah hidayah di atas itu juga. Ada yang bilang, nyatanya paman Nabi tercinta saja sampai akhir hayatnya tidak masuk Islam karena Tuhan tidak memberikan hidayah-Nya. Menurutku itu salah besar. Kita tidak berhak mengambil kesimpulan seperti itu karena kita tidak tahu jalan apa yang sebenarnya dipilih di dalam hati paman Nabi tersebut. Mungkin saja paman Nabi memilih tidak mau mempelajari Islam sehingga konsekuensinya hidayah itu tidak turun-turun. Jika saja paman Nabi memilih mempelajari Islam, besar kemungkinannya dia bakal memperoleh hidayah sebagai konsekuensi pilihannya. Belajar atau tidak belajar itu the way-nya, sedangkan hidayah itu adalah hasil jika kita memilih untuk belajar. Dan sekali lagi, flowchart Tuhan tidak sesederhana yang aku gambarkan.

Makanya, aku meragukan keabsahan cerita Nabi Musa berguru pada Nabi Khidir itu. Ceritanya, Musa ingin belajar kepada Khidir yang konon diberikan karunia kesaktian luar biasa oleh Tuhan, dan karunia weruh sakdurunge winarah (tahu tentang hal yang akan terjadi kemudian). Tapi Khidir memberikan syarat, Musa tidak boleh mempertanyakan apapun tindakan Khidir sepanjang perjalanan pembelajarannya. Banyak kejadian aneh yang dialami Musa bersama Khidir yang membuat Musa terheran-heran. Tapi Musa menahan rasa ingin tahunya, sampai pada akhirnya Khidir membunuh seorang bayi yang baru lahir.

Sampai di sini batas kesabaran Musa. Serta-merta dia lupa janjinya dan mempertanyakan perbuatan Khidir yang ganjil. Khidir pun menjawab, “Bayi itu, kelak ketika besar akan menjadi seorang penjahat dan anak yang durhaka kepada orang tuanya. Maka lebih baik kubunuh sekarang.”

Aku sangat tidak setuju dengan cerita itu! Seandainya moral cerita itu benar, itu sama saja dengan mengklaim bahwa setiap bayi yang baru lahir sudah ditentukan bakal masuk surga atau neraka. Itu sama saja tidak ada gunanya berbuat baik di dunia kalau ternyata kita sudah ditetapkan sejak awal sebagai penghuni jahannam!

Tentang tidak usah terlalu ngoyo pada pertanyaan ketiga pun ternyata bisa dinalar secara sederhana. Anggap saja ada seorang laki-laki ingin menikah. Tapi dia tidak pernah mau berusaha mendekati wanita dan cenderung menjauhi wanita (dengan alasan takut zina, misalnya). Setiap mau dikenalkan kepada wanita oleh temannya, dia menolak. Ya, sampai kapanpun dia tidak bakal pernah menikah kalau begitu caranya. Orang yang mau menikah, setidaknya pasti mengenal kulit luar orang yang akan dinikahinya. Kalau menghindar terus, ya jelas aja nggak bakal berhasil. Itu gunanya ikhtiar. Ikhtiar atau menghindar itu the way-nya, dan menikah atau menjomblo seumur hidup itu hasilnya.

Oke, sampai di sini kuharap sidang pembaca yang terhormat sudah bisa menangkap maksud yang kusampaikan. Kalau masih belum jelas juga, waduh, aku bingung harus menjelaskan dengan bahasa yang bagaimana lagi. Jujur, aku memang tidak memiliki kemampuan menjelaskan yang bagus.

Yah, apapun itu, manusia memang cuma bisa berusaha sampai takdirnya terungkap. Karena itu aku menyukai film “The Last Samurai”, meskipun nanti ada yang bakal berfatwa, “Jangan mendasarkan pada pemikiran orang kafir,” padahal dia nggak sadar kalau komputer yang dipakainya juga hasil pemikiran orang kafir. ;)
Ralat dan tambahan: Artikel ini benar-benar kubuat tanpa mengecek surat Al Qahfi di Al Qur’an terlebih dahulu. Ternyata cerita tentang Musa dan Khidir pernah disebutkan dalam ayat 65. Jadi, otomatis pernyataanku yang mempertanyakan keabsahan cerita itu kugugurkan sekarang.

Sebagai gantinya, aku sekarang berpendapat bahwa ayat tersebut kemungkinan masuk dalam perkara nasikh-mansukh (kedudukan hukumnya menggantikan dan digantikan ayat lainnya).

Mungkin saja, kejadian tersebut relevan dengan keadaan umat Musa. Tetapi seperti halnya Injil-nya Isa dan Zabur-nya Daud, Taurat-nya Musa pun - dalam konteks Islam - disempurnakan dengan Al Qur’an, karena beberapa hal yang sudah tidak logis dan relevan untuk diterapkan pada umat Muhammad SAW, umat akhir zaman. Al Qur’an, menurutku, bukan sekedar memuat hukum-hukum yang mengikat umat Islam, tetapi juga berisi cerita-cerita dari kitab terdahulu untuk diambil hikmahnya bagi umat Muhammad. Dan mungkin saja perkara Khidir dan Musa di surat Al Qahfi “hanya”lah sekedar cerita yang untuk diambil hikmahnya.





Jangan Lupa Komentar Ya ...

No comments:

Post a Comment