Thursday 5 June 2008

Nasehat seorang tukang gali kubur



May 7, 2008 by ventus

Suatu hari ketika saya sedang berziarah ke Makam Imam Jalaluddin as-Suyuthi, salah satu dari dua ulama yang menulis Tafsir al-Jalalain, yang berada di kawasan Sayyidah Aisyah, tiba-tiba datang ‘ammu Mahmud, seorang tukang gali kubur di kawasan tersebut. ‘Ammu Mahmud, adalah guru sekaligus kawan lama saya yang tinggal di sebuah gubuk kumuh di tengah-tengah kuburan kawasan Sayyidah Aisyah. Saya mengenalnya ketika saat itu saya meminta ijin untuk ikut melihat secara langsung bagaimana proses penguburan yang biasa dilakukan di Mesir.

Begitu mendekat, ‘Ammu Mahmud langsung mengajak saya menghampiri sebuah bangunan pemakaman. Sambil menunjuk salah satu dharih, bangunan kuburan yang ditinggikan dan diberi atap, ia menuturkan bahwa kurang lebih setengah jam yang lalu ia baru saja menguburkan seorang konglemerat Mesir. Menurutnya, konglomerat tersebut memiliki sejumlah vila dan apartemen yang tersebar hampir di seluruh propinsi Mesir, Libia, dan bahkan juga di Inggris.

Setelah lama bertutur, Ammu Mahmud lalu berkata: “Saudaraku, perhatikanlah dan renungkanlah. Dunia ini tidak lebih dari sebuah tipu daya yang memperdaya. Orang-orang berebut dan berlomba menumpuk kekayaan sehingga lupa kewajiban. Bahkan boleh jadi ia lupa bahwa suatu saat ia akan dikuburkan. Ketika sudah dikuburkan, semua manusia, baik kaya maupun miskin, sama saja; ia dikubur di atas tanah dan dibungkus dengan kain kafan berwarna putih. Harta yang diusahakannya dengan susah payah, kini menjadi bahan rebutan keluarganya. Isteri yang dicintainya, boleh jadi sebentar lagi akan dinikahi laki-laki lain. Maka, hati-hatilah dengan dunia ini. Jangan sampai kamu terperdaya karenanya.

Apabila kelak kamu mencari harta, jangan lupa kewajiban kepada yang Maha Kuasa. Apabila kelak menjadi seorang pejabat, jangan pernah lupa kepentingan rakyat. Apabila kelak menjadi seorang ulama, jangan lupa orang-orang melarat. Karena yang justru akan menyelamatkan kamu bukan kedudukan, jabatan akan tetapi kebaikan dan kepedulian kepada orang lemah; yang menyelamatkan kamu bukan tabungan yang numpuk di bank, akan tetapi uang recehan yang kamu berikan kepada orang-orang yang membutuhkan”.

Subhanallah, nasihat ‘ammu Mahmud sederhana tapi sarat dengan makna. Meski sekedar tukang gali kubur, namun kata-katanya penuh hikmah. ‘Ammu Mahmud mengingatkan kita akan sebuah persolan yang seringkali dilupakan. Ya, persolan hidup di dunia ini. Dunia dengan hingar bingarnya, seringkali melupakan tujuan dan kewajiban utama kita. Keelokan dunia seringkali melupakan bahwa dunia ini sekedar per’singgah’an semata. Layaknya sebuah per’singgah’an, tentu tidak akan lama.

Perhatikan dengan seksama berapa lama umumnya manusia ’singgah’ di dunia ini. Ambil saja standar umum, bahwa umumnya masa ’singgah’ di dunia ini hanya enam puluh lima tahun saja. Apabila kini usia kita sudah 55 tahun, ini artinya, masa ’singgah’ yang masih tersisa tinggal sepuluh tahun lagi. Setelah itu, kita semua akan pindah ke alam lain, alam kubur dan alam akhirat.

Ingatlah kawan, dunia ini adalah ladang tempat bercocok tanam. Bekal kita kelak di kehidupan akhirat sangat tergantung kepada tanaman apa yang kita tanam di ladang dunia ini. Apabila ‘tanaman kebaikan dan amal shaleh’ yang kita tanam, tentu kebahagiaan dan surga yang akan kita dapatkan. Namun, apabila tanaman kejahatan dan dosa yang kita tanam, tentu kita akan menuai sengsara dan neraka. Maka pergunakanlah ladang ini sebaik mungkin, karena kita tidak akan pernah mendapatkan ladang lain selain ladang dunia. Bila masa ’singgah’ di dunia ini telah habis, maka ladang itu pun juga turut habis, yang tersisa adalah menikmati hasil dari tanaman yang ditanam di ladang dunia.

Hati-hatilah dengan dunia. Dunia itu ibarat bayang-bayang manusia. Apabila dicari dan ditangkap, ia akan lari, namun apabila dibiarkan ia akan mengikuti. Berlakulah sewajarnya. Jangan sampai demi dunia, kita melanggar aturan dan ketentuan Allah swt.

Dunia hanyalah perantara bukan tujuan. Tujuan kita adalah kehidupan di akhirat kelak. Hati-hati, jangan sampai seperti yang difirmankan oleh Allah berikut ini: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui” (at-Takatsur: 1-4)

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan dan sasarannya, Allah akan menceraiberaikan seluruh urusannya, serta menjadikan kefakiran berada di depan matanya, dan Allah tidak akan memberikan kepadanya dari dunia ini melainkan apa yang telah ditentukannya saja. Namun, barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan dan sasarannya, maka Allah akan memudahkan segala urusannya, memberikan kekayaan di hatinya serta Allah akan melimpahkan dunianya dari jalan yang tidak disangka-sangka” (HR.Turmudzi dan Ibn Majah).

Mari kita merenung sejenak. Perhatikan orang-orang kaya yang telah meninggal dunia. Apa yang tersisa? Apakah kekayaannya yang melimpah ikut menyertainya? Apakah mobilnya yang mewah ikut menemaninya? Apakah tabunganya yang menumpuk, ikut bersamanya? Apakah isteri yang dicintainya turut di sampingnya? Tidak. Sekali lagi tidak. Harta yang diusahakannya dengan susah payah dan jerih payah tidak ada yang dibawanya sedikitpun.

Yang menyertainya abadi hanyalah amal perbuatannya sewaktu di dunia. Yang membuatnya ‘tersenyum’ hanyalah uang fakkah (recehan) yang sempat diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Yang menolongnya, hanyalah shalat yang dilakukannya tengah malam. Yang menolongnya, hanyalah kepedulian dan perhatiannya kepada orang-orang lemah yang sangat membutuhkan bantuan. Sementara tabungannya yang numpuk di bank, hanyalah menjadi tontonan dan pajangan. Mobilnya yang mewah hanyalah menjadi hiasan. Kekayaannya yang melimpah ruah hanyalah menjadi bahan rebutan dan perselisihan.

Maka, berbahagialah mereka yang memperbanyak amal shaleh dan kebaikan dan celakalah mereka yang menanam kejahatan. Rasulullah saw bersabda: “Yang mengikuti mayyit sampai ke kubur itu ada tiga; dua kembali lagi ke dunia, sedangkan yang satu lagi ikut menemani di dalam kubur. Dua hal yang kembali lagi ke dunia adalah harta dan keluarganya, sedangkan yang akan setia menemaninya hanyalah amal perbuatannya” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda: “Keturunan Adam akan berkata: “Hartaku, hartaku!!. Lalu dikatakan kepadanya: “Harta yang kamu miliki hanyalah apa yang kamu makan sehingga habis, apa yang kamu pakai sehingga musnah dan apa yang kamu sedekahkan sehingga berlalu. Sementara selebihnya, akan hilang, raib, ditinggalkan untuk manusia yang lain” (HR. Muslim).

Dalam kitab al-Mustathraf dituturkan sebuah kisah, bahwa suatu hari Nabiyulllah Daud as mengadakan perjalanan di antara bukit-bukit terjal. Tiba-tiba beliau melewati sebuah gua yang di dalamnya tergeletak mayat seorang laki-laki bertubuh besar dan berperawakan tegap.

Di dekat kepalanya ada sebuah batu lebar yang bertuliskan: “Saya adalah Raja Dausam. Saya menjadi raja selama seribu tahun. Saya juga telah menaklukkan seribu kota. Saya juga telah membunuh seribu tentara. Saya juga telah menggauli seribu gadis putri-putri raja, lalu kondisi saya kini seperti yang kamu lihat sekarang; tanahlah yang menjadi kasur saya, batu yang menjadi bantal saya. Siapapun yang melihat saya, maka jangan sampai tertipu oleh dunia sebagaimana dunia telah menipu saya”.

Dalam sebuah hadits juga dikatakan, suatu hari Rasulullah saw berkata kepada Abu Hurairah: “Maukah saya tunjukkan kepada kamu dunia beserta seluruh isinya?” Saya (Abu Hurairah) menjawab: “Mau, ya Rasulullah”. Rasulullah saw lalu membawa saya mengunjungi sebuah lembah. Tidak jauh dari lembah tersebut ada sebuah tempat pembuangan sampah yang di dalamnya terdapat tengkorak kepala manusia, kotoran manusia, kain basah dan tulang belulang yang sudah tidak ada dagingnya.

Rasulullah saw lalu bersabda: “Wahai Abu Hurairah, tengkorak-tengkorak kepala ini adalah sumber ketamakan dan keserakahan manusia. Suatu saat kepala-kepala tersebut akan seperti sekarang ini, tidak ada dagingnya juga tidak ada kulitnya sedikitpun. Ia akan menjadi sebuah tengkorak yang hancur luluh. Sementara tahi-tahi ini adalah gambaran dari apa yang telah kamu makan dan apa yang kamu usahakan selama di dunia. Semuanya akan menjadi seperti yang kamu lihat ini. Kain basah itu adalah pakaian-pakaian yang dahulu kala oleh manusia seringkali dipamer-pamerkan dan diagung-agungkan. Sedangkan tulang-tulang itu adalah tulang-tulang kendaraan kamu yang biasa kamu pergunakan untuk berkeliling mengelilingi kota-kota. Itulah dunia, maka janganlah kamu terperdaya dibuatnya”.

Hadits-hadits di atas mengingatkan kita akan perlunya berhati-hati dengan dunia. Mencari dunia tentu dianjurkan bahkan diharuskan. Namun, jangan lupa, luruskan niat dan tujuannya. Mencari dunia bukan untuk dunia, tapi untuk bekal kelak di akhirat. Agar apa yang diusahakan di dunia ini menjadi bekal kelak di akhirat, maka pergunakanlah sebaik mungkin. Pergunakan dan belanjakanlah sesuai dengan petunjuk dan titah Allah swt., bukan berdasarkan hawa nafsu manusia. Ingatlah, perkataan si tukang gali kubur di atas: “Karena yang justru akan menyelamatkan kamu bukan kedudukan, jabatan, akan tetapi kebaikan dan kepedulian kepada orang lemah; yang menyelamatkan kamu bukan tabungan yang numpuk di bank, akan tetapi uang recehan yang kamu berikan kepada orang-orang yang membutuhkan “. wallahu ‘alam bis shawab.

Sumber : ibnuabidin.multiply.com

Baca Lebih Lengkap Disini......

Sembilan Wali (Walisongo



Sekilas tentang Sembilan Wali (Walisongo)…

April 28, 2008 by ventus

Masuknya Islam di tanah Jawa tidak bisa lepas dari rangkaian sejarah. Dan sejarah tentang Walisongo (sekitar 600 tahun yang lalu) adalah sebuah rangkaian sejarah yang menyertai masuknya Islam di tanah Jawa yang pada masa itu masih didominasi oleh Hindu-Budha, dan sebagian lagi masih menganut kepercayaan masa Megaliticum. Ada yang perlu kita ketahui tentang sejarah ini dengan pandangan bijak agar tidak terjebak dalam segala pandangan yang bersifat “Neo” akan sebuah sejarah…..

<>Walisongo itu adalah suatu da’wah atau dewan mubaligh, apabila seorang dari anggota dewan itu meninggal mala akan di gantikan oleh wali lainnya. Seperti tersebut dalam kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yg penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Magrobi, walisongo melakukan sidang 3 kali yaitu:

1404 — 9 wali

1436 — masuk 3 wali pengganti

1463 — masuk 4 wali pengganti

walisongo periode 1 waktu Sultan Muhammad 1 dari Turki, mengirimkan utusan untuk menyebarkan islam di tanah jawa karena mendengar kabar ada 2 kerajaan Hindu : Majapahit dan Pajajaran. pada tahun 808H/1404M para ulama berangkat ke pulau jawa

1. Maulana Malik Ibrahim-Turki-ahli mengatur negara-dakwah di jawa timur-wafat di gresik 1419M

2. Maulana Ishak - Samarqand(Rusia)– ahli pengobatan–setelah Jawa pindah ke pasai- wafat dsana

3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra–Mesir–dakwah keliling–Trowulan Mojokerto

4. Maulana Ahmad Al Mahrobi–Maroko–dakwah keliling–1465M di Jatinom

5. Maulana Malik Isroil–Turki–ahli mengatur negara–1435M–Di Gunung Santri

6. Maualana Muhammad Ali Akbar–Persia–ahli pengobatan –1435M- Di gunung Santri

7. Maulana Hasanuddin–Palestina–dakwah keliling–1462–Samping mesjid Banten Lama

8. Maulana Alayudin–Palestina–dakwah keliling–1462–samping Mesjid Banten Lama

9. Syekh Subakir–Persia–ahli menumbali tanah angker–kembali ke persia 1462M

Periode 2 masuk 3 wali baru sidang diadakan di Ampel Surabaya

1. Raden Ahmad Ali Rahimatullah–Cempa– menggantikan Malik Ibrahim

2. Sayyid Ja’far Sodiq–palestina–menggantikan Malik Isroil

3. Syarif Hidayatullah–palestina–mengantikan Maulana Ali Akbar

Periode 3(1463M) masuk masuk 4 wali baru sidang berlangsung di Ampel Surabaya

1. Raden Paku(Syekh Maulana Ainul Yaqin) —Sunan Giri–menggantikan Syekh Maulana Ishak

2. Raden Said (Sunan Kalijaga)–menggantikan Syekh Subakir

3. Raden Makdum Ibrahim(Sunan Bonang)–menggantikan Maulana Hasanuddin

Periode 4 masuk 2 wali menggantikan Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Magrhobi

1. Raden Hasan (Raden Patah)

2. Fathullah Khan

Periode 5

Sunan Muria–Raden Umar Said

“Walisongo” berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha .

Maulana Malik Ibrahim (Wafat 1419)

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).

Sunan Kalijaga

Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (’kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak

Sunan Gunung Jati

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Sunan Kudus

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Muria

Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti .

Sekilas tentang Kesultanan Demak (1500 M)

Kesultanan Demak berdiri pada tahun 1500 M di Bintoro (Demak) oleh Pangeran Jimbun, putra Prabu Brawijaya V dari Majapahit dengan putri Champa. Setelah jadi sultan bergelar Raden Patah, dan memerintah selama 18 tahun. Dalam pemerintahannya dibantu oleh Walisongo. Setelah meninggal diganti putranya Pati Unus, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor, karena ia pernah memimpin armada laut Demak melawan Portugis di Selat Malaka pada tahun 1511 M. Pati Unus hanya memerintah selama 3 tahun dan digantikan adiknya Pangeran Trenggono. Tahun 1527 atas jasa panglima perangnya Fatahillah berhasil mencegah pasukan Portugis yang hendak mendarat di

Sundakelapa (kini Jakarta). Selama pemerintahannya banyak melakukan pembebasan ke daerah-daerah sekitarnya. Sultan Trenggono mati syahid dalam pembebasan Pasuruan. Sepeninggalnya terjadilah intrik dalam keluarga kesultanan Demak. Penggantinya Sunan Prawoto dibunuh oleh suruhan Aryo Penangsang, adipati Jipangpanolan yang membalas dendam atas kematian ayahnya. Namun akhirnya Aryo Penangsang tewas di

tangan Sutowijoyo, putra angkat Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang diangkat jadi adipati di Pajang. Joko Tingkir memboyong pusaka keraton Demak ke Pajang dan sejak itu berakhirlah riwayat Demak sebagai kesultanan, dan berganti menjadi kadipaten



Sumber tulisan : Dzikrullah.com, Kaskus.com

Baca Lebih Lengkap Disini......

Kontraktor akhirat

Kontraktor akhirat
________________________________________
Tiga orang pengusaha dari Indonesia, Amerika Serikat dan Jepang datang bersamaan di gerbang akhirat. Malaikat penjaga mendatangi mereka dan berkata bahwa gerbang surga butuh perbaikan. Sang malaikat menanyakan
pada masing-masing kontraktor, sehingga Tuhan bisa memilih seorang kontraktor.
Kontraktor pertama, dari Amerika Serikat, memperkirakan biaya perbaikan gerbang surga berkisar 300 dollars. Sang malaikat menanyakan perinciannya. Si Kontraktor bilang, 100 dollars untuk bahan material, 100 dollars untuk buruh dan 100 dollars untuk keuntungannya.
Kontraktor ke dua, dari Jepang, bilang butuh biaya 600 dollars. dengan perincian, masing-masing 200 dollars untuk material, buruh dan keuntungan.
Ketika si Kontraktor ke tiga, dari Indonesia ditanya, berapa biaya perbaikan gerbang surga, si Kontraktor berkata 5600 dollars. Sang malaikatpun terkejut dan minta perinciannya. Si Kontraktor dengan tenang mendekati malaikat dan berbisik, " Pssst....2500 dollars buat kamu, 2500 dollars buat aku, sisanya suruh si Jepang yang ngerjain. "

Thanks For Kaskus.us

Baca Lebih Lengkap Disini......

Kisah Aji Saka Versi Lainnya



Kisah Aji Saka Versi Lainnya


Karya klasik berbentuk puisi tembang macapat, dan berbahasa Jawa Baru. Isi teks tentang cerita mitos yang dimulai dengan kedatangan Aji Saka dari Arab ( bumi Majeti ) ke Tanah Jawa atau Medhang Kamulan. Diceritakan pula tentang kematian Prabu Dewatacengkar oleh Aji Saka yang kemudian menggantikannya sebagai raja di Medhang Kamulan dengan gelar Prabu Jaka. Cerita ini diakhiri dengan peperangan antara para Adipati Brang Wetan (pesisir timur) melawan Prabu Banjaransari di Kerajaan Galuh.Aji Saka dalam perjalanannya ke Medhang Kamulan singgah di rumah seorang janda bernama Sengkeran. Ditempat inilah banyak orang yang berguru kepada Aji Saka. Raja Medhang Kamulan, Prabu Dewatacengkar, senang sekali melihat banyak orang ditempat tersebut kesukaannya memakan daging manusia. Oleh karena itu orang-orang menjadi takut.Aji Saka menawarkan dirinya lewat Patih Trenggana* agar dihadapkan sebagai santapannya. Ia mengajukan persyaratan meminta tanah seluas ikat kepala yang dimilikinya untuk dibentangkan di tanah tersebut.
Raja Dewatacengkar menyanggupinya sehingga ikat kepala yang dibentangkan tadi memenuhi wilayah Medhang Kamulan. Dewatacengkar terdesak dan akhirnya sampaidi pantai selatan hingga tercebur dalam samudera dan berubah wujud menjadi buaya putih. Selanjutnya Aji Saka kembali ke Medhang Kamulan dan menggantikan kedudukannya sebagai raja dengan gelar prabu Jaka atau Prabu Anom Aji Saka. Sepeninggal Dewatacengkar kerajaan Medhang Kamulan menjadi aman tenteram dan damai kekuasaan Aji Saka. Ia dapat membuat manusia dengan tanah dan menciptakan aksara Jawa yang disebut Dhentawyanjana. Diceritakan pula mengenai naga Nginglung yang mengaku dirinya sebagai putra prabu Jaka. Ia disuruh untuk membunuh buaya putih di samudera yang merupakan penjelmaan Dewatacengkar. Naga tersebut dapat membunuh buaya putih sehingga diakui sebagai putranya dan diberi nama Tunggul Wulung.
Raden Daniswara di Panungkulan bermaksud ingin merebut Kerajaan Medhang. Ia disarankan oleh Hyang Sendhula agar meminta bantuan kepada ratu Kidul yang bernama Ratu Angin-Angin. Ia kemudian dapat menjadi raja di tanah Jawa dengan sebutan Raja Daniswara atau Srimapunggung. Ki Jugulmudha dijadikan patih dengan gelar Adipati Jugulmudha. Langkah selanjutnya adalah ingin menaklukan pesisir mencanegara. Setelah selesai tugasnya ia kembali ke Panungkulan dan selanjutnya berniat menaklukan Medhang. Akhirnya Aji Saka moksa bersama dengan kerajaannya sedangkan Medhang dibawah kekuasaan Srimapunggung. Setelah Srimapunggung moksa kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sri Kandhihuwan. Setelah Sri Kandhihuwan moksa kemudian digantikan oleh prabu Kelapagadhing. Selanjutnya kekuasaan secara berturut-turut digantikan oleh : (1) Prabu Andhong, (2) Sri Andhongwilis, (3) Prabu Banakeling, (4) Sri Banagaluh, (5) Sri Awulangit, (6) Ratu Tunggul, (7) Selaraja, (8) Mundhingwangi, (9) Mundhigsari, (10) Jajalsengara, (11) Gilingwesi, (12) Sri Prawatasari, (13) Wanasantun, (14) Sanasewu, (15) Raja Tanduran, (16) Rama Jayarata, (17) Raja Ketangga, (18) Raja Umbulsantuin, (19) Raja Padhangling, (20) Ratu Prambanan, (21) Resi Getayu, (22) Lembu Amiluhur, (23) Raden Laleyan, dan (24) Raden Banjaransari). Pusat kerajaan di Medhang Pangremesan atau Jenggala.
Pada saat pemerintahan Raden Banjaransari, ia mendapatkan wangsit dari dewa Sang Hyang Narada agar meninggalkan kerajaan untuk pergi ke arah barat yang akhirnya sampai di Gua Terusan untuk bertapa. Ditempat inilah ia dapat bertemu dengan kakeknya, Sang Hyang Sindula, yang akhirnya dapat menjadi raja di Kerajaan Galuh. Disebutkan pula mengenai peperangan antara para Adipati Brang Wetan melawan Prabu Banjarsari di Kerajaan Galuh.
Cerita Ajisaka tersebut diatas ada yang mengartikan perlambang atau bermakna sebagai berikut :
1.***** Ajisaka* - Aji** = Raja ( pegangan raja )*** Saka = Pilar
2.***** Majeti** - Ma = Diterima ( keterima )** Jet* = Grenjet ( bijaksana )* Ti** = Pangesti ( doa khusuk )
Artinya : Doa orang yang bijak, yang melakukan dengan khusuk akan diterima.
3.***** Medang Kamolan* - Kamolan = Mula = tempat asal muasal kehidupan
Beberapa resensi tentang Ajisaka terdapat pada serat Jatiswara dan Serat Centhini yang memuat sebuah episode mengenai nama Ajisaka ( Raja Jawa Pertama ) pada abad ke. 17.
*
Sumber : Hasil Google Search

Baca Lebih Lengkap Disini......

MISTERI PULAU JAWA KUNO DI ZAMAN SWETA DWIPA

Sebelum dihuni manusia, bumi Jawa telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu, turun ke arcapada lalu kimpoi dengan Pratiwi, dewinya bumi…................

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.

Konon,
proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.

Mengingat
kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.

Al kisah,
dalam kunjungan resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau nama bangsawannya Haryo Lembusuro, seorang pandhito terkemuka tanah Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa (India).

Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah patung perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap manusia Jawa, Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia tidak bisa menyembah patung, tetapi para Brahmana India tetap mendesaknya, dengan alasan kalau Brahmana dinasti Haricandana menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang Pencipta Tribuwana.

Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun sewaktu kaki Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak disebutkan berapa kekuatan goyangannya dalam skal ritcher). Yang jelas, saking hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak.

Memang,
menurut tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup itu bukan patung, tetapi lewat rasa sejati, sehingga hubungan kawula dengan Gusti menjadi serasi. Itulah Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.

Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsng dari batinya, maka itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.
Bagi orang Jawa tentang cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia, telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke arcapada kimpoi dengan Pratiwi, dewi bumi.

Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan terjemahan, kalau Wisnu itu artinya urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi jelasnya awal mula adanya kehidupan manusia di bumi, atas izin Sang Penguasa Jagad. Dewa perlambang sukma, manusia perlambang raga. Begitulah hidup manusia, raganya bisa rusak, namun sukmanya tetap hidup langgeng.

Kemolekan bumi Jawa laksana perawan rupawan yang amat jelita, sehingga Kerajaan Rum (Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta Ngali Samsujen, begitu terpesona karenanya. Maka diutuslah dutanya yang pertama yang bernama Hadipati Alip.

Hadipati Alip
berangkat bersama 10.000 warga Ngerum menuju Nuswa Jawa. Mereka dalam waktu singkat meninggal terkena wabah penyakit. Tak tersisa seorang pun. Lalu dikirimlah ekspedisi kedua dibawah pemimpinan Hadipati Ehe. Malangnya, mereka juga mengalami nasib sama, tupes tapis tanpa tilas.

Masih diutus rombongan berikutnya, seperti Hadipati Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Semuanya mengalami nasib sama, tumpes kelor.
Melihat semua itu, Prabu Galbah terkejut dan mengalami shock hebat. Akibatnya, sakit jantungnya kambuh. Dia kemudian jatuh sakit, dan dalam waktu tak lama mangkat.
Pendeta Ngali Samsujen, merasa bersalah karena nasehatnya menimbulkan malapateka ini terjadi. Akhirnya beliau mati dalam rasa bersalah. Tinggal Mahapati Ngerum, karena rasa setianya, dia ingin melanjutkan missi luhur yang dicita-citakan rajanya. Dia akhirnya ingat pada sahabatnya yang sakti bersanama Jaka Sangkala alias .....................
Aji Saka, yang tinggal di Tanah Maldewa atau Sweta Dwipa.

Habisnya para migran dari Ngerum ke Tanah Jawa itu, menurut Jaka Sangkala adalah karena hati mereka yang kurang bersih. Mereka tidak meminta izin dahulu pada penjaga Nuswa Jawa. Padahal, karena sejak zaman dahulu, tanah ini sudah ada yang menghuni. Yang menghuni tanah Jawa adalah manusia yang bersifat suci, berwujud badan halus atau ajiman (aji artinya ratu, man atau wan artinya sakti).
Selain penghuni yang baik, juga dihuni penghuni brekasakan, anak buah Bathara Kala. Makanya tak ada yang berani tinggal di bumi Jawa, sebelum mendapat izin Wisnu atau manikmaya atau Semar.
Akhirnya, Mahapati Ngerum diantar Aji Saka menemui Wisnu dan isterinya Dewi Sri Kembang. Saat bertemu, dituturkan bahwa wadyabala warga Ngerum yang mati tidak bisa hidup lagi, dan sudah menjadi Peri Prahyangan, anak buah Batara Kala. Tapi ke-8 Hadipati yang gugur dalam tugas itu berhasil diselamatkan oleh Wisnu dan diserahi tugas menjaga 8 mata angina. Namun mereka tetap menghuni alam halus.
Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap Semar di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup. Supaya selamat, oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra, agar terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.

makna :
Kisah di atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di dalamnya. Wisnu dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan sinarnya, madu dan manisnya, tak terpisahkan. Loro-loro ning atunggal.
Maka itu, keraton Wisnu dan Aji Saka itu di Medang Kamulan, yang maksudnya dimula-mula kehidupan. Kalau dicermati, intinya adalah kawruh ngelmu sejati tentang kehidupan manusia di dunia, sejak masih gaib hingga terlahir di dunia, supaya hidup baik, sehingga kembalinya nanti menjadi gaib lagi, perjalanannya sempurna.
Singkat cerita, perjalanan ke tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan jumlah warga yang lebih besar, 80 ribu atau 8 laksa, disebar di berbagai pelosok pulau. Sejak itulah, kehidupan di tanah Jawa Dwipa yang disebut masyarakat Kabuyutan telah ada sejak 10.000 SM, tetapi mulai agak ramai sejak 3.000 SM.

Sesudah kedatangan pengaruh Hindu, muncul kerajaan pertama di Jawa yang lokasinya di Gunung Gede, Merak. Rajanya Prabu Dewowarman atau Dewo Eso, yang bergelar Sang Hyang Prabu Wismudewo. Raja ini memperkuat tahtanya dengan mengawini Puteri Begawan Jawa yang paling terkenal, yakni Begawan Lembu Suro atau Kesowosidi di Padepokan Garbo Pitu (penguasa 7 lapis alam gaib) yang terletak di Dieng atau Adi Hyang (jiwa yang sempurna), juga disebut Bumi Samboro (tanah yang menjulang tinggi). Puterinya bernama Padmowati atau Dewi Pertiwi.
Dari perkimpoian campuran itu, lahirlah Raden Joko Pakukuhan, yang kelak di kemudian hari menggantikan tahta ayahnya di kerajaan Jawa Dwipa atau Keraton Purwosarito, dan bergelar Sang Prabu Sri Maha Panggung. Lalu keraton dipindah lokasinya ke Medang Kamulan.

Penggantinya adalah putranya Prabu Palindriyo. Dari perkimpoiannya dengan puteri Patih Purnawarman, Dewi Sinto, lahir Raden Radite yang setelah bertahta dan bergelar Prabu Watuguung. Dia memerintah selama 28 tahun. Pemerintahannya mempunyai pengaruh kuat di Jawa Barat. Adalah kakaknya, Prabu Purnawarman yang membuat Prasasti Tugu, sebelah timur Tanjung Priuk dalam pembuatan saluran Kali Gomati, Prasasti Batu Tulis di Ciampea, Bogor.

Untuk menguasai Jawa Timur, Prabu Watugunung mengawini puteri Begawan Kondang, yaitu Dewi Soma dan Dewi Tumpak. Dia juga mengawini Ratu Negeri Taruma yang bernama Dewi Sitowoko.

Dalam pemerintahannya terjadi perebutan tahta dengan Dewi Sri Yuwati, saudara lain ibu (Dewi Landep). Dewi Sri Yuwati dibantu adiknya lain ibu, Joko Sadono (putera Dewi Soma). Akhirnya Prabu Watugunung berhasil dikalahkan, dan Joko Sadono menggantikan tahtanya dengan gelar Prabu Wisnupati, permaisurinya Dewi Sri. Kakak Dewi Sri diangkat sebagai raja Taruma, bergelar Prabu Brahma Raja...

Baca Lebih Lengkap Disini......

Gunung Lawu

Menurut legenda,
Gunung Lawu merupakan kerajaan pertama di pulau Jawa yang dipimpin oleh raja yang dikirim dari Khayangan karena terpana melihat keindahan alam diseputar Gn. Lawu. Sejak jaman Prabu Brawijaya V, raja Majapahit pada abad ke 15 hingga kerajaan Mataram II banyak upacara spiritual diselenggarakan di Gunung Lawu. Hingga saat ini Gunung Lawu masih mempunyai ikatan yang erat dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta terutama pada bulan Suro, para kerabat Keraton sering berjiarah ke tempat-tempat keramat di puncak Gn.Lawu.
Terdapat padang rumput pegunungan banjaran Festuca nubigena yang mengelilingi sebuah danau gunung di kawah tua menjelang Pos terakhir menuju puncak pada ketinggian 3.200 m dpl yang biasanya kering di musim kemarau. Konon pendaki yang mandi berendam di tempat ini, segala keinginannya dapat terkabul. Namun sebaiknya jangan coba-coba untuk mandi di puncak gunung karena airnya sangat dingin. Rumput yang tumbuh di dasar telaga ini berwarna kuning sehingga airnya kelihatan kuning. Telaga ini diapit oleh puncak Hargo dumilah dengan puncak lainnya. Luas dasar telaga Kuning ini sekitar 4 Ha.
Terdapat sebuah mata air yang disebut Sendang Drajad, sumber air ini berupa sumur dengan garis tengah 2 meter dan memiliki kedalaman 2 meter. Meskipun berada di puncak gunung sumur ini airnya tidak pernah habis atau kering walaupun diambil terus menerus. Air sendang ini dipercaya dapat memberikan mujijat bagi orang yang meminumnya. Juga terdapat bangunan yang berupa bilik-bilik untuk mandi, karena para pejiarah disarankan untuk menyiram badannya dengan air sendang ini dalam hitungan ganjil.
Juga ada sebuah gua yang disebut Sumur Jolotundo menjelang puncak, gua ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam 5 meter. Gua ini dikeramatkan oleh masyarakat dan sering dipakai untuk bertapa. Sumur ini berupa lubang bergaris tengah sekitar 3 meter. Untuk turun ke dalam sumur harus menggunakan tali dan lampu senter karena gelap. Di dalam sumur terdapat pintu goa dengan garis tengah 90 cm. Konon di dalam sumur Jolotundho ini sering digunakan untuk bertapa, dan digunakan guru-guru untuk memberi wejangan/pelajaran kepada muridnya.
Terdapat sebuah bangunan di sekitar puncak Argodumilah yang disebut Hargo Dalem utuk berjiarah, disinilah tempatnya Eyang Sunan Lawu. Tempat bertahta raja terakhir Majapahit memerintah kerajaan Makhluk halus. Hargo Dalem adalah makam kuno tempak mukswa Sang Prabu Brawijaya. Pejiarah wajib melakukan pisowanan (upacara ritual) sebanyak tujuh kali untuk dapat melihat penampakan Eyang Sunan Lawu. Namun tidak jarang sebelum melakukan tujuh kali pendakian, pejiarah sudah dapat berjumpa dengan Eyang Sunan Lawu.
Di sekitar Hargo Dalem ini banyak terdapat bangunan dari seng yang dapat digunakan untuk bermalam dan berlindung dari hujan dan angin. Terdapat warung makanan dan minuman yang sangat membantu bagi pendaki dan pejiarah yang kelelahan, lapar, dan kedinginan. Inilah keunikan Gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 mdpl, terdapat warung di dekat puncaknya.
Pasar Diyeng atau Pasar Setan, berupa prasasti batu yang berblok-blok, pasar ini hanya dapat dilihat secara gaib. Pasar Diyeng akan memberikan berkah bagi para pejiarah yang percaya. Bila berada ditempat ini kemudian secara tiba-tiba kita mendengar suara "mau beli apa dik?" maka segeralah membuang uang terserah dalam jumlah berapapun, lalu petiklah daun atau rumput seolah-olah kita berbelanja, maka sekonyong-konyong kita akan memperoleh kembalian uang dalam jumlah yang sangat banyak. Pasar Diyeng/Pasar Setan ini terletak di dekat Hargo Dalem.
Pawom Sewu terletak di dekat pos 5 Jalur Cemoro Sewu. Tempat ini berbentuk tatanan/susunan batu yang menyerupai candi. Dulunya digunakan bertapa para abdi Raja Parabu Brawijaya V.
Puncak Argodumilah pada saat tertutup awan sangat indah, kita menyaksikan beberapa puncak lainnya seperti pulau - pulau kecil yang dibatasi oleh lautan awan, kita merasa berada di atas awan-awan seperti di kahyangan. Bila udara bersih tanpa awan kita bisa melihat Samudera Indonesia. kita dapat melihat pantulan matahari di Samudera Indonesia, deburan dan riak ombak Laut Selatan sepertinya sangat dekat. Sangat jelas terlihat kota Wonogiri juga kota-kota di Jawa Timur. Tampak waduk Gajah mungkur juga telaga Sarangan.

di monggo...pencerahannya..................


MISTERI

Gunung Lawu bersosok angker dan menyimpan misteri dengan tiga puncak utamanya :
Harga Dalem, Harga Dumilah dan Harga Dumiling yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa.

Harga Dalem diyakini masyarakat setempat sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas,
Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan
Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang ADU kemampuan olah batin dan meditasi.

Konon kabarnya gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan tradisi dan budaya keraton, semisal upacara labuhan setiap bulan Sura (muharam) yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Dari visi folklore, ada kisah mitologi setempat yang menarik dan menyakinkan siapa sebenarnya penguasa gunung Lawu dan mengapa tempat itu begitu berwibawa dan berkesan angker bagi penduduk setempat atau siapa saja yang bermaksud tetirah dan mesanggarah.

Siapapun yang hendak pergi ke puncaknya bekal pengetahuan utama adalah tabu-tabu atau weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan, dan bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.

Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M). Alkisah, pada era pasang surut kerajaan Majapahit, bertahta sebagai raja adalah Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Jinbun Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.

Jinbun Fatah setelah dewasa menghayati keyakinan yang berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Jinbun Fatah seorang muslim. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Jinbun Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak). Melihat situasi dan kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Akankah jaman Kerta Majapahit dapat dipertahankan?
Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun datang, pesannya : sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah takdir dan tak bisa terelakkan lagi.
Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang umbul (bayan/ kepala dusun) yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang umbul itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Niat di hati mereka adalah mukti mati bersama Sang Prabu . Syahdan, Sang Prabu bersama tiga orang abdi itupun sampailan di puncak Harga Dalem.
Saat itu Sang Prabu bertitah : Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus surut, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Kepada kamu Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib (peri, jin dan sebangsanya) dengan wilayah ke barat hingga wilayah Merapi/Merbabu, ke Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Suasana pun hening dan melihat drama semacam itu, tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bagaimana mungkin ini terjadi Sang Prabu? Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini. Dan dua orang tuan dan abdi itupun berpisah dalam suasana yang mengharukan.
Singkat cerita Sang Prabu Barawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.
Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga puncak tersebut yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani. Bagaimana situasi Majapahit sepeninggak Sang Prabu? Konon sebagai yang menjalankan tugas kerajan adalah Pangeran Katong. Figur ini dimitoskan sebagai orang yang sakti dan konon juga muksa di Ponorogo yang juga masih wilayah gunung Lawu lereng Tenggara


tulisan inipun saya dapet dari seorang teman lama (sesama pendaki waktu itu)-ada di web lain juga....maap....BAPAK...."...."....
dan seorang sejarawan dan sekaligus paranormal Indonesia....."...maap...EYANG.."....."

Baca Lebih Lengkap Disini......

Ketawa Dech

DIDORONG

Setelah puas menggagahi gadis muda belia, seorang pemerkosa naas karena
kepergok warga. Pengadilan menjatuhi hukuman cambuk 200x dipantatnya.

Pantat : [sambil meringis kesakitan & ga terima perlakuan cambuk] "Anu
sialan!!! Lo yang enak, gue yang sakit"
Anu : [sewot] "Pantat sialan!!! emang ini salah siapa? gue cuma mau liat2
doang... ngapain lo dorong-dorong"

ISINYA KECIL

Seorang pria sedang asik menatap istrinya yang sedang mencoba bh-nya yang
baru beli.

"Untuk apa beha itu kau beli?" tanyanya. "Tokh kau tidak punya apa pun untuk
dibungkus... "

"Hei," potong istrinya. "Apakah aku pernah ribut kalau kau memakai celana
dalam?"

BODOH JADI CERDAS

Seorang bapak mengajak anaknya yang baru berusia tujuh tahun ke kamp
perkemahan kaum nudis. Si anak terheran-heran melihat berbagai macam
ukuran kemaluan pria. Si bapak menjelaskan kepada anaknya, "Nak, besar
kecilnya kemaluan itu ditentukan oleh kecerdasan. Kemaluan orang cerdas
biasanya besar dan kemaluan orang bodoh biasanya kecil." Beberapa hari
setelah itu, si anak lapor kepada bapaknya ketika ia baru pulang dari
kerja, "Pak, tadi siang ibu bercanda dengan orang bodoh di dalam kamar.
Tapi makin lama saya lihat orang itu semakin cerdas."

POSISI

Seorang suami menggugat cerai istrinya ke pengadilan. Di pengadilan,
dia dihadapkan beberapa pertanyaan.
Hakim: "Apakah anda serius untuk menceraikan isteri Anda?"
Suami: "Serius Tuan Hakim"
Hakim: "Mengapa?"
Suami: "Karena ia diperkosa, Tuan Hakim"
Hakim: "Hah? Bukankah Anda harus membelanya. Bukan menceraikannya? "
Suami: "Seharusnya Pak Hakim. Tapi, saya lihat dia sempat ganti posisi..."

JANJI LHO YA?!

Suatu ketika mandilah seorang lelaki di air terjun nan indah...
Mandilah dia dengan menanggalkan semua pakaiannya.. .
dan berkecipak-cipuk bermain dengan air...
dari jarak kejauhan datanglah seorang banci berjalan dan mendekat,
mengintip lelaki tersebut yang sedang mandi... si banci menikmatinya. ..
dan...
UPPPS!!! si banci menginjak ranting... "KKKRRRIIIIIEEEEK"
Si lelaki terperanjat !!!
Lelaki : SIAPA TUCH ??
Banci : (diam saja... takut ketahuan)...
karena tidak ada yang menjawab si lelaki melanjutkan mandinya...
tetapi si banci sial, dia jatuh terpeleset, "GUUUBRAAK"
Lelaki : SIAPA LAGI TUCH ? KALO GAK NGAKU GW SUMPEL PAKE BARANG GW LOH!!!!
Si banci keluar dari persembunyiannya sambil senyum-2 genit berkata
"...JANJI LHO YA...!"

AKAR MAWAR

Seorang cewek seksi baru saja membuat tato bunga mawar di lengan
atasnya. Sadar tubuhnya bohai dan mau pamer tato mawar di
lengannya,cewek itu berjalan melewati kerumunan pemuda yang sedang asik
nongkrong dengan mengenakan tank top.
Cowok-cowok: "Hai cewek....Boleh kita cium mawarnya?"
Cewek : "Boleh....Siapa duluan?"
Cowok2 itu langsung semangat dan bergegas menghampiri cewek itu
Cewek : [sambil angkat tangan] "TAPI CIUM DULU AKARNYA!!!!"

DASAR BUDEG

Ginting, seorang profesional asal Medan yang agak tuli baru pertama kali
datang ke Jogja. Pada suatu hari ia ingin sekali minum minuman khas daerah
Jogja, yaitu dawet (cendol).

Ginting : Mbak, beli dawetnya.
Mbak : Sampun telas mas.

Ginting : Iya, memang harus pake gelas...
Mbak : Mboten wonten mas.

Ginting : Btul, memang saya suka pake santen...
Mbak : (Dengan nada kesal) Dasar sinting !!!

Ginting : Lho, koq tau nama saya Ginting...?
Mbak : (Tambah kesal) Dasar wong edan.

Ginting : Wah mbak btul lagi... saya memang dari Medan!
Mbak : (Sambil menggerutu) Dasar wong ora duwe otak..!!

Ginting : Bnar, bnar saya orang Batak !
Mbak : Dasar budeg ....!!!!

Ginting : Selain cendol saya memang suka gudeg.
Mbak : Sampeyan kok kurang kerjaan to ?

Ginting : Bnar sekali mbak, teman-teman saya memang semua kurang kerjaan,
cerita kayak gini ini juga dibaca sampai habis !

Fromhttp://kaskus.us/showthread.php?t=895489

Baca Lebih Lengkap Disini......