Wednesday 22 October 2008

Pedang Naga Puspa


Dipenghujung bulan November 2005, aku ingat betul malam itu, diriku baru saja menerima tamu yang datang kerumahku. Seperti biasanya, sebelum tidur diriku selalu menyaksikan berita-berita di televise yang ditayangkan dimalam hari.

Tak terasa hari semakin larut dan kedua mataku pun mulai terasa mengantuk. Segera kumatikan televise dan bergegas menuju ke kamar. Tiba-tiba, mataku melihat kelebatan bayangan yang tampak mengalir seperti air atau bisa dikatakan juga seperti ular yang melata.


Indera keenamku pun menangkap adanya kekkuatan gaib yang besar sedang berusaha mewujud dihadapaku.

Siapakah ini? Sebuah tanya yang melintas dibenakku.

Apakah mereka berniat baik atau sebaliknya?

Pikiranku akhirnya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tersebut. Anehnya, diriku sama sekali tidak menangkap adanya sinyal-sinyal kejahatan melalui indera keenamku. Lantas siapakah mereka, dan apa maksud kedatangan mereka? Untuk sekian kalinya diriku kembali harus bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Karena dirikku sangat hafal akan ciri ghaib-ghaib pendampingku jika mereka hadir dihadapanku. Tak lama kemudian, dihadapanku hadir dua sosok naga yang sangat besar, mereka mengaku sebagai sepasang suami isteri dan bernama Ki Ageng Puspa dan Nyi Ageng Puspa.

Setelah saling beruluk salam, maka diriku segera bertanya pada kedua sosok ghaib yang dulu hanya kuketahui dari tayangan televisi.

Ki Ageng Puspa dan Nyi Ageng Puspa, apa maksud kedatangan kalian menemui diriku? Tanyaku.

Kami mohon maaf, jika telah membuat tuan terkejut bukan tanpa alas an yang jelas, jawab Ki Ageng Puspa.

Tolong jangan berbelit-belit?! Ujar diriku yang semakin penasaran.

Kamu berdua hanya ingin mengabdi kepada Tuan! Jawab Ki Ageng Puspa.

Mengabdi padaku, mengapa? Dirikupun bertanya kembali pada dua sosok gaib itu.


Kami ada sepasang senjata tuan, Pedang Naga Puspa. Dan kami butuh seseorang yang pantas agar kami berdua tidak dikuasai oleh orang yang dzholim. Jawab Nyi Ageng Puspa.

Menurut Nyi Ageng Puspa, selama ini telah banyak orang-orang yang mencoba untuk menarik sepasang pedang Naga Puspa yang tiada lain adalah mereka sendiri. Namun sayangnya, dari orang-orang yang selama ini memburu Pedang Naga Puspa rata-rata hanya untuk memenuhi nafsu duniawi belaka.

Yang membuatku tak habis pikir mengapa sepasang Naga Puspa ini memilih diriku yang jelas keturunan dari Sriwijaya bukan Majapahit atau kerajaan lainnya di tanah Jawa.

Ki Ageng dan Nyi Ageng Puspa, mengapa memilih dirku? Tanyaku pada mereka.

Karena ilmu kanuragan tuan yang menyatu dengan alam,jawab Ki Ageng Puspa.

Maksudnya? Diriku kembali bertanya.

Ilmu kesaktian tuan merupakan kesimbangan setiap unsur alam yang terdiri dari tanah, air, tumbuhan, angin dan lain sebagainya,Ki Ageng Puspa menjelaskannya.

Benarkah ucapan Naga Puspa tersebut? Sungguh, diriku jadi kebingungan.

Pasalnya, selama ini diriku mewarisi keilmuan dari leluhurku hanya sebatas untuk melestarikan warisan budaya, agar tidak hilang termakan zaman yang serba modern seperti sekarang ini. Apalagi diriku bukanlah seorang pendekar ataupun jawara yang gemar berolah kanuragan.

Setelah berkali-kali sepasang Naga Puspa tersebut berusaha meyakinkan diriku, pada akhikrnya diriku meluruskan permintaan mereka untuk ikut diriku dengan sebuah kesepakatan.

Jangan meminta yang macam-macam denganku. Terlebih jika hal itu menjurus kepada kemusyrikan.

Akhirnya semua itu berlalu, maka wujud sepasang naga tersebut berubah menjadi sepasang pedang dengan ukiran naga. Sungguh sebuah senjata yang indah dipandang. Namun anehnya, saat kugenggam kedua pedang ghaib tersebut, sekujur tubuhku terasa bergetar hebat.

Aku sulit untuk mengendalikan diri dan juga emosiku yang terus membara. Segera kurapal ilmuku untuk meredam getaran-getaran ghaib dari pedang Naga Puspa tersebut. Alhasil, diriku mampu mengendalikan diri dan emosiku. Hanya saja, kini sepasang Naga Puspa itu berteriak-teriak karena kepanasan.

Hentikan, atau mereka terbakar..! Tiba-tiba diriku mendengar teriakan yang tiba-tiba saja muncul.

Kontan diriku melepaskan semuanya, termasuk pedang ghaib yang berada digenggamanku. Karena suara itu adalah milik leluhurku.

Hai Naga Puspa! Jika kalian ingin ikut cucuku, mengapa tak kalian ajarkan jurus Naga Puspa agar cucuku bisa mengendalikan kalian tanpa menyakiti kalian? Ucap leluhurku dengan nada keras.

Beribu-ribu ampun, tuan raja. Bukannya tidak mau, tapi kami tidak bisa.” Jawab Ki Ageng Puspa.

Wujud fisik kami berupa naga, maka cucu tuan tentu tidak bisa membaca gerakan-gerakan kami. Nyi Ageng Puspa menambahkan.

Kalau itu masalahnya, Insya Allah aku bisa. Kata leluhurku itu.

Berkat bimbingan dari leluhurku yang mampu membaca gerakan dari naga tersebut, maka diriku berhasil. Setidaknya untuk saat itu menguasai dua dari tujuh jurus Naga Puspa. Diriku sungguh takjub melihat gerakan-gerakan dari jurus Naga Puspa yang lemah gemulai namun memancarkan energi yang besar.

Menurut Ki Ageng Puspa, diriku harus menguasai minimal 3 jurus untuk dapat menyelaraskan diri dengan pedang Naga Puspa. Maka dimalam berikutnya, seusai diriku melakukan aktivitas sehari-hari, diriku disibukkan dengan mempelajari jurus-jurus Naga Puspa. Itu semua kujalani hanya sekedar melestarikan warisan dari orang-orang yang terdahulu.

Apalagi, saat ini orang-orang seusiaku lebih suka budaya barat dari pada budayaannya sendiri. Tanpa terasa, dua minggu sudah terlewati sejak dirku pertama kali bertemu dengan sepasang Naga Puspa tersebut. Akan tetapi, diriku masih saja belum menguasai jurus ketiga dari jurus Naga Puspa.

Hal itu karena jurus ketiga sangatlah sulit. Selain harus melakukan gerakan jurus-jurus meliuk-liuk seperti gerakan naga. Jurus tersebut juga membutuhkan olah nafas dan pengaturan energi serta suhu di tubuh bagi yang mempelajari jurus tersebut.

Mungkin bagi orang-orang yang gemar berolah kanuragan, hal tersebut bukanlah suatu perkara yang sulit, tapi bagiku cukuplah merepotkan.

Karena pada dasarnya, walaupun katanya diriku memiliki ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian lainnya, akan tetapi ilmu-ilmu tersebut kudapatkan secara spontan karena diwariskan oleh para ghaib leluhurku.

Dengan penuh kesabaran, salah satu gaib leluhurku terus membimbingku dalam mempelajari jurus-jurus Naga Puspa. Terlebih sosok gaib leluhurku itu melihat ketertarikanku akan jurus naga yang memiliki keunikan tersendiri dimataku.

Pada suatu ketika, diriku baru saja menunaikan shalat Isya’. Entah mengapa terasa amat berat. Mungkin saja karena tadi siang diriku teramat sibuk hingga kelelahan,pikirku dalam hati.

Tanpa menunggu lama langsung kurebahkan diriku dikursi panjang diruang tamu dan kedua matakupun langsung terpejam. Anehnya, baru beberapa saat diriku terlelap, tiba-tiba diriku terjaga karena merasakan adanya sesosok makhluk yang terus memperhatikanku.

Awalnya kupikir adalah sepasang Naga Puspa itu, namun dugaanku tersebut langsung menjadi mentah, tatkal kulihat sepasang pedang Naga Puspa tertancap (secara ghaib) dilantai rumahku. Lalu siapakah itu?

Sosok misterius tersebut berperawakan tinggi besar dan mengenakan busana khas ksatria jaman dulu. Sosok tersebut berdiri tegak didepan rumahku dan dibelakangnya tampak puluhan prajurit yang terlihat bersiap untuk berperang.

Diriku tersentak kaget melihat fenomena ghaib. “Apa maksud dan tujuan mereka, apalagi diriku sama sekali tidak mengenal mereka?” gumam diriku.

“Assalammu’alaikum.” Dirikupun berucap salam pada tamu gaib misteris tersebut.

Sosok gaib dan para prajurit itu hanya berdiam diri sambil menatap tajam pada diriku.

“Berarti mereka bukan muslim,” ucapku dalam hati.

Didera rasa penasaran yang teramat sangat, diriku segera melontarkan pertanyaan.

“Maaf, saya merasa tidak pernah mengenal kalian. Apa maksud kedatangan kalian?” Tanyaku.

“Kembalikan senjataku!” Jawab sosok gaib yang dapat kupastikan sebagai pemimpin pasukan kecil tersebut dengan nada marah.

“Senjata! Senjata apa?” Tanya diriku.

“Aku tidak pernah mencuri senjata kalian. Lagi pula alangkah baiknya jika bertandang ke tempat orang memperkenalkan diri terlebih dahulu. Apalagi kalian tampak seperti prajurit yang harusnya tahu sopan santun!” Ucapku dengan tegas karena kesabaranku mulai menipis.

Akhirnya, sosok gaib tersebut mengaku bernama Kamandaka, dia datang bersama prajuritnya untuk merebut kembali sepasang Pedang Naga Puspa dari diriku. Karena dirinya mengira, aku telah mengambil tanpa izin sepasang senjata andalannya itu.

Dituduh sebagai pencuri , kontan membuat darah mudaku mendidih. Mengetahui tabir gaib diriku mulai terbuka, para prajurit gaib tersebut lansung menyerangku. Untunglah, diriku dalam posisi benar. Jadi Allah SWT senantiasa melindungiku.

Setiap gerakan prajurit yang dibawa sesosok gaib yang mengaku bernama Kamandaka itu tak satupun yang mengenai dirku. Dan malah sebaliknya, serangan-serangan balik yang kulancarkan cukup untuk membuat mereka berjatuhan.

Melihat para prajuritnya tak berdaya, Kamandaka segera menyerang diriku dengan ilmu-ilmu kanuragan yang dahsyat. Benturan-benturan ilmu kanuragan pun terjadi. Tanpa ingin berlama-lama, segera kugunakan sebuah Cakra Emas pemberian leluhurku untuk melumpuhkan sosok gaib tersebut.

Kamandaka terlihat sibuk sendiri menangkis serangan sebuah cakra emas milikku itu yang terus mengincar dirinya bak sebuah peluruh kendali. Hingga akhirnya, karena kewalahan Kamandaka tak mampu menghalau serangan cakra emas milikku itu. Dirinya pun terjatuh dan kesakitan.

Sambil menahan rasa sakitnya, Kamandaka menatapku sambil kebingungan. Maka dirinya pun bertanya; “Seharusnya seranganmu dapat lebih mencelakai diriku. Mengapa kau tahan seranganmu itu?”

“Intinya, diriku tidak ingin bermusuhan denganmu.” Jawabku pelan.

Tiba-tiba hadirlah sosok gaib leluhurku. “Jodohmu dengan pedang Naga Puspa telah berlalu sejak ratusan tahun silam. Dan cucuku tidak mencuri pedang Naga Puspa, tapi Ki Ageng Puspa dan Nyi Ageng Puspa lah yang minta ikut dengan cucuku. “ Ucap leluhurku dengan nada penuh wibawa.

“Beribu-ribu ampun, hamba terlalu lama bertapa hingga tidak mengetahui apa yang telah menjadi takdir Sang Hyang Widi.” Ucap Kamandaka yang terlihat menyesal.

“Kembalilah ke asalmu. Sembukanlah luka-lukamu. Maafkan jika cucuku telah menyakiti dirimu.” Ujar leluhurku.

“Ampun tuan, seharusnya hamba yang meminta maaf pada cucu tuan. Hamba tidak tahu kalau tuan ini adalah cucu tuan, raja dari Swarnadwipa.” Ucap Kamandaka.

Akhirnya, Kamandaka mengikhlaskan sepasang Pedang Naga Puspa yang dahulu menjadi kebanggaannya di medan pertempuran. Malah sebelum berpamitan, Kamandaka menawarkan diri jika diriku memerlukan bantuan darinya. Hal tersebut tentu saja kusambut dengan gembira.

Akan tetapi yang paling membuatku bahagia adalah kesalahaahaman tersebut telah berlalu. Sungguh sebuah fenomena gaib yang sungguh sulit kupercaya, walaupun jelas-jelas diriku tidak sedang bermimpi.

Fenomena dunia gaib sangat sulit dijangkau oleh akal dan logika, karena itu merupakan salah satu misteri Ilahi. Sebagai makhluk ciptaanNya, kita wajib berkeyakinan bahwa alam gaib beserta makhluk-makhluk Nya itu memang benar adanya
Jangan Lupa Komentar Ya ...

2 comments:

  1. hati2 untuk menerima itu.... saran dan renungkan.. YANG MENGATAKAN MATI YANG HIDUP bukan MATI YANG MENGATAKAN HIDUP......
    Anda sudah bagus dalam proses perjalanan namun semuanya perlu disaring lagi atau dikaji lagi dengan nalar yg sehat.... sebenernya gaib bisa di cerna nalar...
    contoh kamu ..pertumbuhan didiri....dari kecil hingga dewasa ..knp bisa tumbuh rambut walaupun dicukur masih numbuh...kuku di potong bisa numbuh lagi...itu semua ada gaib.....kamu bisa tahu itu kalau dipelajarikan.......
    by widjaya
    email : widj_kusumabangun@yahoo.co.id

    ReplyDelete
  2. Subbahanallah maha suci enkau yaa allah..maha besar enkau yaa allah dari segala cipta an nya.ma'af Kta ini hanya lah mahluk atau hamba untuk meneruskan cita -cita leluhur nenek moyang .di sini lah kita harus kaji makna yang tersirat sebenarnanya, Apa arti pedang dan apa arti pakaian atau perwujuddan di masa silam,???
    Bisa kah?kita membawa arti yang tersirat itu ???...
    untuk internal diri kita dan external untuk orang lain???
    hanya lah Dia dan Dia yang memahami arti yang tersirat itu.amin

    ReplyDelete