Saturday 16 August 2008

Dilema Atasan Muda

Antara acungan dan kekhawatiran

Berlaku untuk siapakan sebutan atasan muda itu? Kalau mengacu pada sejumlah catatan, yang disebut atasan muda itu kira-kira adalah orang yang usianya antara kurang dari 25 dan tidak lebih dari 35 tahun, namun posisi karirnya telah menduduki level leader. Definisi leader di sini, kalau mau pakai pendapat Peter Drucker, adalah orang yang memiliki pengikut atau bawahan. “The only definition of a leader is someone who has followers”.

Fenomena munculnya atasan muda ini sebetulnya bukan barang baru. Dari sejak zaman para nabi, zaman raja-raja, dan sampai era kepahlawanan nasional pun sudah ada. Konon, Jaka Tingkir ketika dinobatkan menjadi pemimpin, usianya masih sangat muda. Pak Idham Khalid ketika terpilih sebagai salah satu tokoh nasional di zamannya, usia beliau baru tiga puluh tahun.

Namun, seiring dengan semakin terbukanya akses pendidikan yang lebih bagus, informasi yang lebih mudah, temuan-temuan yang lebih bagus, metode penguasaan skill yang lebih bagus pula dan penyedia resource yang lebih berlimpah, diperkirakan jumlah atasan muda di negara maju dan negara yang mau maju (developing countries) akan terus bertambah. Baru-baru ini ada orang Indonesia yang terpilih sebagai direktur termuda se-Asia Tenggara karena usianya baru 24 tahun. Selang beberapa bulan, Ernst & Young juga menobatkan pengusaha muda yang konon manufakturnya terbesar se-Asia Tenggara dan usianya belum tiga puluh tahun.

Apa yang membuat seseorang dinobatkan menjadi atasan muda? Kalau melihat di lapangan, sebab-sebabnya mungkin ada tiga. Pertama adalah karena (murni) prestasinya. Meski usianya masih muda, namun karena history karirnya bagus, ya mau tidak mau akhirnya terpilih menjadi atasan. Mereka terpilih karena punya alasan yang kuat. Kedua, karena dukungan keluarga dan pretasi. Dia terpilih sebagai atasan / pemimpin karena memang yang punya usaha atau perusahaan itu adalah keluarga (ayah, mertua, ibu, dst). Selain karena faktor keluarga, pilihan itu jatuh karena memang kualitasnya dipandang layak. Ketiga, karena jerih payah usahanya sendiri. Dia terpilih sebagai atasan karena memang usaha itu dia sendiri yang merintisnya dari sejak dini.


Apa yang perlu dihindari?

Menjadi atasan muda itu memang agak dilematis. Satu sisi kita kerap menerima acungan jempol dari orang lain atas prestasi yang kita miliki. Tapi di sisi lain, orang juga banyak yang menghawatirkan. Kekhawatiran ini biasanya hanya didasari oleh asumsi umum, analogi umum dan kasus-kasus yang umum terjadi. Karena itu, sejauh kita sanggup membuktikan bahwa asumsi banyak orang itu tidak seluruhnya benar, ya masalahnya selesai. Namun, jika kita gagl membebaskan diri dari ‘stereotype’ yang telah tercipta itu, ya mungkin orang akan punya alasan untuk ngomong: "benar kan dugaan gua?"

Terlepas apapun kata orang, ada sebetulnya beberapa hal yang akan lebih baik kalau dihindari. Sebetulnya ini bukan hanya khusus dialamatkan bagi atasan muda. Atasan tua pun perlu menghindarinya. Tetapi untuk menambah nilai plus dan untuk menepis kekhawatiran itu, akan lebih bagus kalau kita hindari. Beberapa hal yang perlu kita hindari itu, antara lain:

Pertama, terlalu ekstrim dalam menerapakan kaidah efektivitas dan humanitas. Kalau kita dikit-dikit main pecat dan sama sekali tidak memperhatikan perasaan orang yang kita pecat, masa bodoh terhadap efek mental pemecatan itu, ini namanya terlalu efektif. Begitu juga kalau kita membiarkan orang yang berbuat salah atau melanggar. Kalau kita membiarkan dan terlalu membiarkan, ini namanya terlalu baik atau terlalu “human”. Menurut kaidah yang umum berlaku, jika sesuatu itu sudah terlalu, biasanya akan memantulkan hal yang sebaliknya.

Baik sama orang lain itu OK tetapi kalau terlalu baik biasanya malah tidak OK. Tegas sama orang itu OK tetapi kalau terlalu tegas biasanya malah tidak OK. Ada catatan dari Jim Rohn yang mungkin tepat untuk kita ingat. Ini soal kepemimpinan. Catatannya begini: “Belajarlah menjadi orang kuat tetap jangan kasar, belajarlah menjadi orang baik tetapi jangan lemah, belajarlah menjadi orang yang tegas tetapi jangan menggertak, belajarlah menjadi orang yang percaya diri tetapi jangan menjadi sombong, belajarlah menjadi orang yang sopan tetapi jangan mengemis.”

Kedua, rakus uang dan kekuasaan. Semua orang butuh uang dan untuk memimpin, semua orang juga butuh kekuasaan. Tetapi memang beda antara rakus dan butuh. Kerakusan kerapkali mendorong kita untuk menempuh cara yang merugikan orang lain dan merugikan diri sendiri (meski kelihatannya menguntungkan diri sendiri). Rakus uang dan kekuasaan ini memang berlaku untuk semua orang, tetapi untuk atasan muda akan lebih bagus kalau dihindari. Rakus biasanya lahir dari keinginan yang terlalu banyak atau yang tidak terkontrol.

Ketiga, tidak bisa menghormati yang lebih tua atau tradisi yang sudah ada. Kalau mau pakai temuan Abraham Maslow, salah satu karakteristik orang yang sudah sampai pada tahap “Self-actualization” itu adalah kepandaiannya dalam menghormati yang lebih tua dan kepandaiannya dalam menghormati tradisi atau budaya lama.

Salah satu cermin penghormatan pada yang lebih tua adalah soal penggunaan bahasa. Ini misalnya saja (kecilnya) dalam memanggil orang. Semakin bagus kita dalam menggunakan bahasa untuk menyebut dan memanggil orang (dalam arti yang luas) justru semakin “terhormat” posisi kita.

Begitu juga dengan penghormatan atas budaya atau tradisi. Ini tidak berarti membiarkan budaya atau tradisi lama yang salah atau yang counter-productive, tetapi lebih pada kemampuan memilah hal-hal yang masih bagus dari yang lama dan menciptakan hal baru yang lebih bagus. Menghormati di sini tidak menyerang secara “radikal” atau menyalahkan seluruh dari yang lama dengan kebencian.

Keempat, kurang konsisten, plin-plan atau indecessive. Tiga hal ini juga perlu kita hindari. Selain akan menurunkan power personal, tiga hal ini juga akan membuat para pengikut bingung. Terkadang yang membuat kita kurang konsisten, plin-plan atau tidak bisa mengambil keputusan yang “bold” adalah soal sasaran yang kurang jelas atau standar yang kurang jelas pula.

Kelima, kurang memahami perbedaan kritik dan hinaan. Teorinya pasti kita sudah tahu apa perbedaan antara kritik dan hinaan. Namun begitu, dalam prakteknya terkadang masih belum kita ciptakan batasan yang tegas. Kritik (baca: kritik konstruktif) adalah upaya yang kita lakukan untuk pembenahan atau perbaikan. Sedangkan hinaan adalah upaya yang kita lakukan untuk menjatuhkan atau memandang rendah. Kritik, selama itu proporsional, tidak merembet kemana-mana, akan mudah diterima orang. Tetapi hinaan, tidak ada orang yang bisa menerimanya.

Keenam, kurang membedakan orang dan masalah. Teorinya mengatakan bahwa orang itu akan merasa dirinya benar apabila diserang orang lain. Perasaan ini ada yang diungkapkan secara langsung vulgar tetapi ada yang dipendam atau diungkapkan dengan cara membela diri dengan alasan-alasan yang variatif. Untuk menyiasati ini disarankan agar kita perlu memfokuskan pikiran untuk melihat masalah dan bagaimana solusinya ketimbang menyalahkan orang. Jadi, kita perlu latihan untuk memisahkan orang dan masalah yang ditimbulkannya terkait dengan pekerjaan. Kalau kita kurang sensitif dalam membedakan orang dan masalah lalu kita menyerang kemana-mana, ini berpotensi memunculkan kekacauan hubungan internal.

Ketujuh, menyamakan “knowing” and “doing”. Apa yang kita pelajari di universitas seputar bisnis dan manajemen itu adalah “knowing”. Sedangkan seluruh aktivitas yang kita jalankan di tempat kerja itu adalah “doing”. Knowing dan doing adalah dua hal yang berbeda. Agar knowing itu bisa dijalankan di tempat kerja dibutuhkan proses yang kerap disebut “learning”. Memaksakan kehendak agar seluruh knowing yang kita miliki ter-implementasikan di tempat kerja (secara one-off) tanpa dibarengi kesadaran adanya keharusan menjalankan proses learning itu, biasanya malah membuat kita suka bongkar-pasang.

Learning adalah perbaikan berdasarkan praktek yang kita lakukan. Peranan knowing di sini adalah sebagai acuan bagi perbaikan itu. Kalau konteksnya organisasi, ada yang menyarankan agar kita perlu belajar dari masalah dan perbaikannya berdasarkan konsep Keizen (on-going improvement). Ini cara yang dipandang lebih aman untuk semua keadaan kecuali yang darurat.


Melangkah Menjadi Lebih Bijak

Menurut hemat saya, seluruh kekhawatiran yang dialamatkan pada atasan muda itu bisa dijawab dengan kesediaan untuk menjadi orang yang lebih bijak, dari waktu ke waktu. Menjadi bijak itu tidak terkait secara kausalitas dengan usia. Banyak anak muda yang lebih bijak dari orang yang lebih tua. Karena itu ada bunyi iklan begini: “Menjadi tua itu bukan pilihan, tetapi menjadi bijak itu pilihan.”

Menjadi bijak artinya kita melatih kemampuan dalam menyikapi kontradiksi atau masalah dengan respon-respon yang konstruktif, positif dan “mendamaikan”. Berdasarkan standar yang umum, untuk menjadi bijak ini dibutuhkan pemahaman mendalam (deep understanding), ketajaman melihat sesuatu yang tak terlihat (keen discernment), dan punya kejelasan dalam bersikap atau keputusan (a capacity for sound judgment). Orang bijak, dengan begitu, bukan orang yang menjual kata-kata manis agar terhindar dari masalah dan kontradiksi namun tidak punya penyikapan yang jelas.

Nah, untuk menjadi lebih bijak ini, rasanya perlu ada beberapa hal yang penting untuk kita lakukan. Ini antara lain adalah:

Pertama, penghayatan atas pengalaman pribadi. Kata James Boswell dan George Bernard Shaw, kita tidak menjadi bijak dengan pengalaman yang kita miliki. Bijak dan tidak bijaknya kita akan tergantung pada sejauhmana kita sanggup menghayati atau mengambil pelajaran dari pengalaman itu. Pengalaman di sini bukan sekedar peristiwa hidup yang menimpa kita, melainkan apa yang kita lakukan atas peristiwa hidup yang menimpa kita itu. Tepatlah kalau kemudian dikatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik.

Nah, pengalaman yang biasanya sangat tepat untuk dihayati itu adalah berbagai pengalaman yang terkait dengan kegagalan, kerugian, kesalahan atau kekurangan. Pengalaman Samuel Smiles ini mungkin banyak terjadi pada kita. Kesimpulannya: “Kita bisa belajar banyak menjadi orang bijak dari kegagalan ketimbang dari kesuksesan. Kita akhirnya bisa menemukan apa yang bekerja setelah mengetahui apa yang mandul dan mungkin saja orang yang tidak pernah melakukan kesalahan tidak akan pernah menemukan sesuatu.”

Sejauh kita sanggup mengambil pelajaran untuk memperbaiki diri dari pengalaman semacam itu, biasanya akan membuat kita lebih bijak dalam melihat masalah dan manusia. Kalau kita sudah belajar melihat kesalahan kita bukan sebatas sebagai kesalahan, biasanya kita pun akan mudah belajar melihat kesalahan orang lain bukan sebatas sebagai kesalahan.

Kedua, meningkatkan pengertian (empati). Menurut definisi Thomas F. Mader & Diane C. Mader (Understanding One Another: 1990), empati adalah kemampuan seseorang untuk “share-feeling” yang dilandasi kepedulian. Kepedulian ini ada tingkatan-tingkatannya.

Kalau mau merujuk pada teori kompetensi, tingkatan yang paling rendah adalah ketika kita baru bisa memahami ungkapan verbal, entah itu perasaan atau pikiran. Tingkatan menengahnya adalah ketika kita sudah bisa memahami isu kompleks yang ada di balik suatu percakapan; mampu mengerti penyebab yang kompleks dari perbuatan, pola kebiasaan maupun masalah seseorang di masa lalu. Sedangkan yang paling tinggi adalah memahami lalu tergerak untuk memberikan bantuan-nyata yang dibutuhkan orang itu berdasarkan keadaannya.

Empati ini sangat kita butuhkan. Jika dikaitkan dengan penjelasan di muka, empati ini akan membuat kita terbiasa menjadi orang yang tidak terlalu efektif dan tidak terlalu “human”. Empati akan membuat kita bisa cepat memisahkan orang dan masalahnya; empati akan mendorong kita untuk lebih melihat bagaimana menyelesaikan masalah ketimbang bagaimana menyerang orang.

Ada pemikiran dari Daniel Goleman soal bagaimana melatih empati itu (Managing with Emotional Intelligence, Leadership Advantage: 2001). Goleman menyarankan lima hal berikut:

§ Cepat menangkap isi perasaan dan pikiran orang lain (understanding others)

§ Memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh orang lain (Service orientation)

§ Memberikan masukan-masukan positif atau membangun orang lain (developing others)

§ Mengambil manfaat dari perbedaan, bukan menciptakan konflik dari perbedaan leveraging diversity)

§ Memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis dalam hubungan kita dengan orang lain (Political awareness)

Ketiga, meningkatkan profesionalitas. Mungkin kita sudah banyak mengantongi definisi profesionalitas itu. Cuma, definisi apapun yang kita anut, ada sedikitnya lima karakteristik utama yang perlu kita miliki dan tampilkan (Medquest Communications, LLC: 2000). Kelima karakteristik itu adalah:

§ Memiliki pengetahuan / keahlian khusus berdasarkan profesi kita

§ Mendapatkan pengakuan dari masyarakat, komuniti, kelompok, organisasi atau industri yang terkait dengan profesi kita

§ Memiliki standar etika-moral yang tinggi, baik itu yang bersifat universal atau yang bersifat spesial, misalnya kode etik profesi.

§ Memiliki otonomi dalam mengambil keputusan berdasakan pengetahuan dan pengalaman.

§ Punya rasa tanggung jawab untuk menciptakan kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain (tidak bebas nilai)

Tentu kita sadar bahwa untuk memiliki dan menampilkan kelima hal di atas tidak bisa kita lakukan secara langsung dan “jadi”. Tetap dibutuhkan proses yang berkelanjutan. Semoga bermanfaat

No comments:

Post a Comment